Marpuah (70 tahun) tak menyangka pohon kakao telah menyelamatkan hidupnya. Berasal dari Jawa Timur, Marpuah bersama suaminya pindah ke Desa Makarti Jaya, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo pada dekade 1990-an melalui program transmigrasi yang dijalankan oleh pemerintah saat itu. Di sana, dia diberikan bibit-bibit tanaman yang nantinya menjadi sumber penghasilan.
Salah satunya adalah bibit kakao. Dengan giat, Marpuah menanam kakao di kebun miliknya. Kala itu, harga kakao masih rendah, sekitar Rp15 ribu per kilogram. Walaupun harganya masih rendah, Marpuah terus menanam kakao. Hingga tahun 2003, sang suami meninggalkan dia dan keempat anaknya.
Berjuang seorang diri jauh dari kampung halaman menjadi tantangan bagi hidupnya. Selain kakao, sebenarnya Marpuah juga menanam komoditas lain, seperti palawija dan jagung. Namun, di antara semua yang paling ia tekuni adalah kakao. Bagi dia, kakao sudah seperti teman kecil yang terus menemaninya menyaksikan anak-anaknya tumbuh.
Sekitar tahun 2018-2019, tanaman jagung mulai populer melalui program yang dijalankan pemerintah saat itu. Harga jual jagung bisa mencapai harga Rp3 ribu-Rp5 ribu per kilogram. Melihat situasi ini, petani-petani kakao di Desa Makarti Jaya berbondong-bondong menebangi tanaman kakao mereka dan menggantinya dengan jagung.
Namun, Marpuah tetap menjaga dan merawat kakao miliknya, tidak tergiur dan termakan situasi sesaat. Bagi dia, kakao lebih banyak memberikan keuntungan dalam hidupnya dibandingkan jagung. Meskipun membutuhkan waktu setahun untuk panen, kakao tidak memakan banyak biaya dibandingkan jagung.
Jagung membutuhkan waktu 3-4 bulan untuk panen dan biaya operasionalnya besar, termasuk pupuk dan bensin. Berkat pertimbangan tersebut, Marpuah tetap menanam dan merawat kakao meskipun dengan berbagai tantangan. Selain harga jual kakao sempat mengalami masa stagnan, musim kemarau juga menjadi hambatannya. Saat kemarau, pohon kakao sulit untuk berbuah seperti yang diharapkan, sehingga tidak banyak yang bisa ia jual. Namun, dengan sabar Marpuah yakin, musim akan berganti dan nasibnya berubah.
“Saya bertahan. Biar daunnya kering, pohonnya masih ada. Tapi nanti kalau musim hujan lagi kan tumbuh. Jadi, saya terus pupuk. Saat hujan turun, saya beri pupuk sedikit-sedikit. Hujan turun lagi, buahnya ada, subur lagi,” kata Marpuah beberapa waktu lalu.

Marpuah di kebun kakao kebanggaannya (Foto: Burung Indonesia/Meiliza Laveda)
Kesabaran Marpuah ternyata berbuah manis. Tak disangka, awal tahun 2020, harga kakao perlahan mulai melejit. Dari Rp15 ribu/kilogram menjadi Rp150 ribu/kilogram. Harga tersebut mengikuti harga pasar yang melonjak. Marpuah tidak menyangka, pohon yang ditebangi oleh sesama rekan petani beberapa tahun lalu ternyata membawa keuntungan di masa depan.
Berkat naiknya harga kakao, Marpuah bisa melebarkan area kebunnya. Dia juga dapat menyewa pekerja untuk mengurus kebun. Namun, harga kakao yang mahal membuat keamanan buah kakao miliknya menjadi rentan. Beberapa kali, dia kedapatan pencuri yang mengambil buah-buah kakao di kebunnya. Kadang pagi hari, kadang siang hari.
Walaupun kemalingan beberapa kali, Marpuah tidak ambil pusing. Dia pasrahkan ke Gusti Allah. “Ada yang pagi ada yang malam mulai curi. Pernah diberi tanda buahnya, tapi tetap hilang. Tapi kalau gitu mau bagaimana lagi, mungkin bukan rezeki saya, Allah pasti ganti,” katanya sambil tersenyum.
Usianya yang sudah senja tidak membuat Marpuah menjadi malas. Walaupun sudah punya karyawan yang mengurus kebun, Marpuah tetap rajin mengikuti sekolah lapang yang diadakan dari bantuan Pembangunan Pemerintah (Official Development Assistance/ODA) Jepang. Dia tak pernah absen dan selalu semangat mengikuti kelas yang diberikan. Bahkan, dia juga ikut membantu menanam benih kakao yang dibagikan dari program ODA.
Dari sekolah lapang itu, Marpuah banyak mendapat ilmu baru, salah satunya teknik sambung pucuk, teknik perbanyakan tanaman kakao dengan menggabungkan batang bawah dan batang atas. Sambung pucuk diterapkan agar hasil panen yang didapatkan semakin cepat dan baik. Marpuah bukan satu-satunya janda yang bertahan dan bisa menghidupi anaknya berkat kakao.
Berjarak puluhan kilometer, sampailah di Desa Tuweya, rumah Irawati (59 tahun) atau kerap disapa Ira. Tinggal di rumah sederhana bernuansa hijau, suasana rumah Ira tak kalah hangat dengan rumah lain. Bersama anak-anak dan cucunya, Ira membudidayakan kakao di kebunnya, beberapa langkah dari rumahnya.
Senasib dengan Marpuah, Ira pindah ke Tuweya melalui program transmigrasi pada tahun 1990-an. Dia berasal dari Desa Tombulilato, Kecamatan Bone Raya, Kabupaten Bone Bolango. Kala itu, pemerintah memberikan lahan kosong dan bibit kakao untuk dia kembangkan. Bersama suaminya, Ira mulai menanam kakao. Di tengah gempuran harga jagung yang sempat naik, Ira terus mempertahankan pohon kakaonya. Bagi Ira, kakao dapat menunjang ekonomi keluarganya.
“Tidak pernah saya ingin menanam jagung. Pernah harga kakao turun sekali, tapi saya tetap pertahankan karena masih dapat menunjang ekonomi sehari-hari,” ujarnya.

Ira menanti datangnya musim panen kakao (Foto: Burung Indonesia/Meiliza Laveda)
Sejak mendapat lahan dan bibit kakao dari pemerintah, Ira menanam kakao hanya dari pengetahuan yang dia dapat. Namun, pengetahuan tersebut terus bertambah melalui program kakao yang didukung oleh ODA. Bersama petani seusianya, Ira banyak menemukan ilmu baru di sekolah lapang, mulai dari pemupukan, penyemprotan, pemangkasan, hingga perawatan.
“Saya baru tahu sambung pucuk dari sekolah lapang. Setelah dapat materinya, langsung saya praktikkan. Katanya sambung pucuk akan membuat perkembangan dan hasilnya bagus, sangat berbeda dengan yang tidak disambung pucuk,” ucapnya.
Selain sambung pucuk, teknik lain yang Ira baru ketahui adalah sambung samping. Dengan malu-malu, Ira mengakui masih belum menguasai teknik sambung samping. Meski begitu, ia tidak menyerah dan akan terus mencoba.
Ira sangat bersyukur lantaran mendapat kesempatan mengikuti program ini sehingga menjadi lebih banyak mengetahui proses penanaman kakao yang benar dan mendapat hasil yang memuaskan. Marpuah dan Ira adalah dua sosok petani perempuan yang tetap berdaya meskipun usia sudah tidak lagi muda.