Mengamati Burung Air di Banggai Kepulauan

11 Maret, 2025

Burung Indonesia menggelar kegiatan Sensus Burung Air Asia (Asian Waterbird Census) di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah pada 9-13 Februari 2025. Kegiatan tersebut merupakan agenda tahunan yang serentak digelar di berbagai negara di Asia dan Australia. Banggai Kepulauan merupakan lokasi yang menaruk untuk mengamati burung endemis sekaligus burung migran. Di sana, terdapat beragam habitat alami, seperti hutan mangrove, pantai berpasir, terumbu karang, dan pulau-pulau kecil. Habitat-habitat itu menjadi tempat berlindung, mencari makan, dan berkembang biak bagi berbagai jenis burung, termausk burung air.

Lokasi Banggai Kepulauan yang terletak di jalur migrasi burung-burung air yang bermigrasi antara belahan bumi utara dan selatan. Di sana, burung-burung migran menjadikan tempat persinggahan untuk beristirahat dan mencari makan selama perjalanan migrasi mereka yang panjang.

Berdasarkan survei keanekaragaman hayati Burung Indonesia, tercatat gagak banggai (Corvus unicolor), celepuk banggai (Otus mendeni) dan tarsius peling (Tarsius pelengensis) ditemukan di Pulau Peling, pulau terbesar di Banggai Kepulauan. Sejumlah faktor menghambat perlindungan jangka panjang spesies-spesies ini, seperti pemanfaatan sumber daya alam dan biota yang berlebihan sehingga diperlukan perlindungan habitat dan pengelolaan ekosistem yang lebih baik, seperti pemeliharaan hutan mangrove yang menjadi rumah bagi burung air.

Dari latar tersebut, kegiatan Asian Waterbird Census menjadi wadah edukasi masyarakat untuk mengenalkan burung-burung air di Banggai Kepulauan beserta peran penting habitatnya, tak terkecuali juga dengan burung-burung endemis kepulauan tersebut. Kegiatan ini diikuti oleh 17 orang peserta, terdiri dari perwakilan Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako, perwakilan Universitas Muhammadiyah Luwuk, Perkumpulan Salanggar, dan masyarakat dari desa mitra Burung Indonesia, seperti Desa Ambelang, Desa Patukuki, Desa Koyobunga, Desa Balayon, serta Desa Boyomoute. Pada hari pertama, para peserta mulai berdatangan dan kegiatan mulai dilaksanakan pada esok harinya, yaitu sesi pelatihan penghitungan burung air.

Dalam pelatihan itu, peserta menerima materi soal burung air yang diberikan oleh dosen Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako Dr. Moh. Ihsan Nur Mallo dan Biodiversity Conservation Officer Burung Indonesia Achmad Ridha Junaid. Pelatihan dilakukan sebagai persiapan sebelum pengamatan burung selama tiga hari.

Trinil semak (Foto: Burung Indonesia)

Hari pertama pengamatan dilakukan di wilayah persawahan Desa Lusagu dan Desa Tatakali. Kemudian hari kedua dan ketiga menelusuri garis pulau dengan perahu di Desa Okumel, Desa Mamulusan, dan Desa Tangkop. Ada beragam jenis burung yang ditemukan, seperti layang-layang batu (Hirundo tahitica), kokokan laut (Butorides striata), walet polos (Aerodramus vanikorensis), kiong lampu biasa, cikalang kecil (Fregata ariel), trinil pantai (Actitis hypoleucos), gajahan pengala (Numenius phaeopus), dan kuntul karang (Egretta sacra).

Sebagai pendamping dan pemateri, Ridha mengungkapkan hal yang menarik dari kegiatan Asian Waterbird Census adalah aspek pesertanya yang sebagian besar merupakan masyarakat setempat dari desa dampingan Burung Indonesia. Oleh karena itu, pelatihan ini menjadi pelatihan pertama mereka tentang burung air dan menjadi momen baik untuk masyarakat mengenali potensi keanekaragaman hayati di wilayah mereka.

“Sejumlah masyarakat mengaku sering melihat burung air, tetapi tidak paham peran hingga jenis burungnya. Namun, melalui pelatihan kemarin mereka sudah samakin sadar akan kehadiran burung air dan nilai pentingnya,” kata Ridha beberapa waktu lalu.

Pada pengamatan kali ini pun, burung migran yang ditemukan tidak sebanyak burung air dan laut. Beberapa di antaranya adalah cikalang kecil (Fregata ariel), trinil pantai (Actitis hypoleucos), trinil semak (Tringa glareola), gajahan pengala (Numenius phaeopus), dan berkik rawa (Gallinago megala). “Masa migrasinya sudah lewat jadi burung migrannya sudah bergerak lebih ke selatan lagi,” ujarnya.

Pelatihan identifikasi jenis-jenis burung air (Foto: Burung Indonesia)

Selain pengamatan burung, peserta Asian Waterbird Census juga melakukan kampanye konservasi di SDN 1 Okumel. Melalui kesempatan ini, para peserta mengingatkan bahwa pendidikan adalah bekal untuk pelajar dalam menjalani kehidupan. Saat kegiatan berlangsung, para siswa sangat antusias menyimak pemutaran film animasi Sabda Alam yang membawa pesan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Setelah itu, para siswa diberikan edukasi terkait pengenalan burung-burung yang ada di alam.

Edukasi tersebut guna meningkatkan kesadaran para siswa agar tidak memburu burung-burung endemis di area sekitar desa. Fasilitator Burung Indonesia Banggai Andi Fauzan mengatakan sebagian masyarakat dan anak-anak di desa masih melakukan praktik memburu burung untuk dijadikan bahan makanan dan penghilang rasa jenuh setelah beraktivitas sehari-hari.

“Beberapa anak menjadikan berburu burung seperti sebuah permainan dengan menggunakan katapel. Mereka menembak burung-madu yang hinggap di pohon oleander kuning (Cascabela thevetia) sehingga kami menilai pendidikan ini harus dimulai sejak dini untuk dapat mengubah kebiasaan buruk menjadi perilaku yang lebih baik,” katanya.