Bagi Faqih Nurlail Priatno (18 tahun), menjadi petani kakao merupakan impiannya. Sangat berbeda dengan anak seusianya yang lebih memilih menjadi aktor hingga konten kreator. Setiap hari, Faqih bangun pukul 05.00 pagi untuk menunaikan salat subuh. Setelah itu, dia sarapan dan bergegas pergi menuju kebun kakao miliknya yang terletak di Desa Puncak Jaya, Kecamatan Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Letaknya tidak jauh dari rumah, hanya sekira satu kilometer. Setelah itu, ia tidak lupa pergi ke tempat pembibitan kakao dari program bantuan Pembangunan Pemerintah (Official Development Assistance/ODA) Jepang.
Di sana, ada sekira 5.000 kakao yang baru saja ditanam bibitnya. Bersama dengan temannya, Hasbu (20 tahun), Faqih bergantian melakukan penyemprotan hama agar proses pertumbuhan kakao tidak terganggu. Setelah itu, mereka mulai memeriksa tanaman yang memiliki bibit sehat, terbebas dari serangan hama dan penyakit. Mereka kumpulkan bibit yang sudah diseleksi lalu mereka terapkan metode sambung pucuk dengan keterangan sudah berusia 3,5-5 bulan agar mempercepat proses pembuahan.
Faqih merupakan lulusan madrasah aliyah atau setingkat SMA. Kendati usianya masih terbilang muda, Faqih tidak minder. Malahan, dia menjadikannya sebagai keunggulannya. Menurut dia, bertani di kampungnya merupakan pekerjaan impiannya. Hal ini tidak terlepas dari peran ayahnya yang juga petani. “Kalau jadi petani, lebih tenang, pikirannya, lebih rileks. Melihat Bapak seorang petani, saya juga ingin menjadi seperti beliau,” kata Faqih saat ditemui di Desa Puncak Jaya, tempo lalu.
Sejak kecil, ia sudah tidak asing dengan dunia pertanian. Dia sudah dikenalkan oleh ayahnya, khususnya tanaman kakao. Namun, edukasi soal kakao baru dia dapatkan lebih banyak dari sekolah lapang yang diselenggarakan Burung Indonesia melalui dukungan ODA. Faqih merupakan salah satu petani dari Gorontalo yang terpilih diberangkatkan ke Sulawesi Selatan untuk belajar menanam kakao bersama fasilitator desa dari Burung Indonesia Program Gorontalo. Setelah menyelesaikan pelatihan, dia kembali ke desa dan membagikan ilmunya ke sesama petani di Puncak Jaya. Faqih mengakui sangat senang dapat ikut kegiatan pelatihan. Selain banyak ilmu baru, ada banyak petani muda seusianya.
“Karena saya masih muda, jadi masih banyak yang belum tahu, seperti teknik sambung pucuk, sambung samping, dan sambung cupon. Terus ada metode pemangkasannya, seperti apa yang lebih baik,” ujarnya.
Berbekal dari pelatihan tersebut, Faqih semakin semangat menjadi petani Gen Z. Terlebih, harga kakao yang kian mahal, membuat dia semakin termotivasi untuk mendapat keuntungan lebih banyak.

Faqih sedang merawat bibit kakao (Foto: Burung Indonesia)
Berjarak belasan kilometer dari Desa Puncak Jaya, sampailah di Desa Bukit Harapanada, tempat petani muda lain tinggal, Anjas Kolopita. Pria kelahiran 1997 ini kerap disapa Anjas dan sudah menjadi salah satu pionir petani muda di desanya. Bahkan, Anjas pernah mendapat penghargaan dari Mars Cocoa Development Center karena telah menjalani pelatihan penanaman kokoa dengan baik di Tarengge, Sulawesi Selatan, tahun lalu.
Berbeda dengan Faqih yang terinspirasi dari ayahnya, Anjas mempunyai alasan kuat menjadi petani. Sejak kecil, dia melihat Pohuwato sebagai area perbukitan hijau yang diselimuti penuh dengan jagung. Menurut Anjas, jagung sudah tidak lagi menjadi komoditas yang cocok di Pohuwato.
Jika dihitung dengan cermat, pengeluaran produksi jagung lebih besar dibandingkan kakao. Pengeluaran itu meliputi bibit, pupuk, hingga operasional yang besar. Terlebih, jagung dipanen dalam waktu 3-4 bulan setelah tanam, sedangkan kakao memerlukan waktu setahun.
Selain biaya produksi yang besar, Anjas melihat kekhawatiran lain, yaitu keberlangsungan kesuburan tanah yang ditanam jagung. Alih-alih menggunakan pupuk organik, petani-petani jagung di tempat tinggalnya lebih memilih menggunakan pupuk kimia untuk mengejar target panen.
“Kalau jagung di sini, kita mainnya (menggunakan) pupuk kimia agar lebih cepat tumbuh. Kalau kita tidak pakai pupuk kimia, tidak bisa panen atau hasil menurun. Karena pakai pupuk kimia, tanah menjadi rusak. Memang cepat untuk pertumbuhan, tapi lama-lama tidak bisa ditanami lagi,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, penggunaan pupuk kimia menjadi persoalan serius. Lahan-lahan yang sudah ditanami jagung semakin lama kehilangan unsur hara hingga tidak bisa ditanam lagi. Faktor inilah yang membuat para petani mencari lahan kosong baru untuk terus menanam jagung. Karena terus mencari lahan baru, lama-kelamaan lahan kosong yang tersisa semakin sedikit. Pada akhirnya, area hutan yang menjadi target selanjutnya.

Anjas di dalam tempat pembibitan kakao di desanya (Foto: Burung Indonesia)
Pembukaan area hutan secara luas dapat mengancam keanekaragaman hayati. Pohuwato yang merupakan bagian dari Bentang Alam Papayato-Paguat merupakan rumah bagi spesies terancam punah seperti maleo, julang sulawesi, kangkareng sulawesi, anoa, babirusa, hingga yakis. Kompleks hutan Papayato-Paguat memiliki fungsi penting sebagai penghubung dua kawasan hutan konservasi dan sembilan blok hutan lindung dengan luas total 256.000 hektare. Komplek hutan ini juga memiliki fungsi sebagai sumber air bersih bagi Kabupaten Pohuwato dan Boalemo karena menjadi hulu tiga sungai besar di Daerah Aliran Sungai (DAS) Randangan dan DAS Paguyaman.
Jika hal ini terus dibiarkan, Pohuwato akan dalam bahaya besar. Lahan gundul yang tersisa dengan batu-batu akan membuat bencana jika hujan datang. Longsor dan erosi akan bermuncul karena tidak ada pohon yang dapat menyerap air.
Penggunaan unsur kimia, seperti pestisida hingga insektisida berpeluang lebih besar mengikis unsur hara tanah lebih cepat, khususnya pada penanaman jagung. Walaupun kakao tetap mengambil unsur hara tanah, dampak kualitas pada tanah tidak sesignifikan jagung. Sebab, penanaman kakao yang diajarkan dari pelatihan tidak menggunakan unsur kimia, tetapi organik. Berkat program tersebut, Anjas dapat membantu mengedukasi petani lain di desanya agar menanam kakao dengan cara yang tepat dan ramah lingkungan. Dari sekolah lapang, Anjas belajar proses penanaman kakao yang baik, mulai dari pembibitan, pembuatan pupuk organik, pengenalan bibit, perawatan, hingga kalkulasi keuntungan setelah musim panen tiba.
Selain itu, Anjas juga mengajak kawan-kawan sepermainannya untuk berganti komoditas tanaman, dari jagung menjadi kakao. Saat ini, Anjas melihat petani muda di desanya mulai bertambah. Sebuah langkah kecil yang membuatnya bahagia.
“Kalau kita (anak muda) mulai merintis, anak muda lain pasti mengikuti. Daripada menanam jagung, hanya balik modal tidak untung, lebih baik menanam kakao karena sifatnya berkepanjangan. Alhamdulillah, semakin banyak anak muda yang menjadi petani di sini dan peduli soal ini,” ucapnya.
Program ODA merupakan salah satu cara Pemerintah Jepang membantu negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan kesejahteraan di antara petani skala kecil di Pohuwato dengan cara yang berkelanjutan. Burung Indonesia, dengan dukungan dari Pemerintah Jepang melalui BirdLife International Tokyo, memulai sebuah inisiatif untuk pertanian kakao yang berkelanjutan.
Program ini bukan hanya tentang bertani kakao; ini adalah tentang menjadikan petani lebih terampil, memperbarui cara penanganan tanaman kakao dan memperkuat masyarakat mereka untuk lebih berhasil dalam pengusahaan komoditas ini secara ekonomi.