Deras suara air laut mengawali hari bagi warga Desa Torosiaje, desa yang dihuni oleh keturunan suku Bajo. Perlahan-lahan cahaya mentari mulai naik, menyinari kehidupan desa apung yang terletak di Kecamatan Papayto, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Pagi itu, Ayah Jack tertatih-tatih berjalan melewati lorong-lorong permukiman warga. Di tangannya, dia membawa tas berisi baju adat bernama badu tikolo ada (baju kebesaran adat) yang nantinya dipakai untuk pergi, menyapa hutan mangrove.
Sebagai ketua adat, Ayah Jack menjadi sosok yang dihormati di desa. Warga kerap memanggilnya dengan sebutan “Ayah” yang merupakan tanda hormat untuk orang tua dan berpengaruh di desa. Setelah berpakaian rapi, Ayah Jack mulai menyiapkan perahu. Dia tidak pergi sendirian, ditemani Siding Salihin, seorang sandro yang di lembaga adat posisinya di bawah pimpinan ketua adat.
Perlahan-lahan Siding menaiki perahu yang telah disiapkan Ayah Jack di Jembatan Rahmat Gobel. Siding langsung menuju ke bagian depan perahu sementara Ayah Jack duduk di bagian belakang sembari menyalakan mesin. Perahu mulai bergerak menuju hutan mangrove yang jaraknya kurang lebih tiga kilometer dari permukiman. Sama halnya dengan laut, hutan mangrove tidak dapat dipisahkan dari warga Desa Torosiaje karena mangrove memiliki nilai adat dan budaya bagi mereka.
“Mangrove memang mempunyai hubungan dengan beberapa tradisi kami, berupa ritual. Sebuah kepercayaan yang masih kami lakukan hingga sekarang,” kata Ayah Jack, tempo hari lalu.
Dekat Desa Torosiaje, ada area mangrove yang menjadi area sakral dan haram hukumnya dimasuki oleh sembarang orang. Di sana, mereka akan melakukan proses ritual untuk menghormati para penghuni hutan mangrove. Sebab, menjaga kelestarian mangrove sama halnya dengan menjaga kelestarian semua makhluk yang tinggal di mangrove, termasuk yang tak kasat mata.
Kepercayaan ini sudah dilakukan secara turun-temurun. Ada tiga titik lokasi yang menjadi tempat tinggal para “penunggu”. Para penunggu ini juga memiliki nama yang tidak sembarang orang boleh ucapkan. Hanya segelintir orang yang tahu nama mereka.

Warga desa wajib menyapa para penunggu dengan memberikan sesajen yang dikaitkan di pohon. Mereka percaya jika telah menyapa para penunggu, mereka akan terhindar dari malapetaka, termasuk wabah penyakit.
“Mereka (para penunggu) juga bisa mengganggu dan akhirnya muncul berbagai macam penyakit. Inilah akibatnya jika kami tidak menyapa mereka dan tidak memberikan makanan ke mereka. Kalau sudah dilakukan ritual, aman. Kuncinya ritual,” ujarnya.
Selain hubungan spiritual, bagi suku Bajo , hutan mangrove juga punya banyak kebaikan lingkungan, seperti mencegah abrasi pantai, menjaga ekosistem peraiaran, menunjang rantai makanan, hingga habitat satwa. Di sini, peran warga desa juga ikut melindungi burung-burung yang tinggal di area mangrove.
Sebagai area yang termasuk lahan basah (wetlands), mangrove merupakan rumah bagi berbagai jenis burung air. Di Indonesia, burung air dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan pergerakannya, yaitu burung penetap dan pengembara (migratory). Burung penetap berarti seluruh bagian atau siklus hidupnya berada di wilayah Indonesia, sementara burung pengembara secara teratur melakukan pergerakan antara lokasinya berkembang biak ke satu atau lebih lokasi tidak berbiak. Burung -air pengembara yang singgah di wilayah Indonesia sebagian besar berasal dari kelompok burung pantai (shorebird) dari famili Charadriidae dan Scolopacidae hanya singgah untuk mencari makan di tempat persinggahannya, sehingga tidak pernah ditemukan telur atau anaknya di sini.

Kelompok burung penetap ada yang berbiak secara soliter, seperti bangau sandang-lawe (Ciconia episcopus) dan beberapa jenis bebek (Anatidae). Ada pula yang berkembang biak secara berkelompok/koloni dengan spesies yang sama atau dengan lainnya seperti kelompok burung kuntul (Egretta spp.), yang bersarang di cabang-cabang pohon. Meski begitu, terdapat beberapa jenis yang meletakkan sarangnya di atas permukaan tanah, seperti kuntul karang (Egretta sacra) dan burung-sepatu picisan (Metopidius indicus). Ada juga yang meletakkan sarangnya di dalam lubang pohon seperti kelompok bebek.
Biasanya, burung pengembara dari utara berkembang biak di bulan Mei sampai Juli yang bertepatan dengan musim panas di bumi belahan utara. Setelah periode tersebut, pada bulan Agustus sampai September burung-burung mulai melakukan migrasi karena musim dingin akan datang.
Untuk melindungi satwa-satwa di hutan mangrove, tim Burung Indonesia Gorontalo hadir memberikan edukasi ke masyarakat setempat melalui kegiatan perlindungan ekosistem mangrove. Edukasi yang diberikan juga terkait dengan budi daya olahan mangrove untuk membantu perekonomian warga desa. Sebab, melestarikan hutan mangrove sudah menjadi kewajiban setiap orang.
“Torang (kita) jaga alam, alam jaga torang.”